Teori Disonansi Kognitif: Pengertian, Asumsi, dan Contohnya

disonansi kognitif

Dalam Ilmu Komunikasi, terdapat teori yang cukup umum dikenal, yaitu teori disonansi kognitif oleh Leon Festinger.

Asumsi dari teori ini dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana manusia mengalami ketidakcocokan antara keyakinan, pemikiran, dan tindakannya.

Untuk lebih jelasnya, yuk simak penjelasan singkat tentang pengertian, asumsi, dan contoh teori disonansi kognitif dalam kehidupan sehari-hari berikut ini!

Apa itu Teori Disonansi Kognitif?

Tiap individu dibesarkan dengan pengajaran akan nilai tertentu. Melalui nilai tersebutlah masing-masing individu akan memiliki keyakinan dan pemikirannya sendiri.

Nah, teori disonansi kognitif dalam komunikasi merujuk pada konflik atau kondisi yang dialami seseorang ketika ada ketidakcocokan antara ideologi kognitif dengan sikap dan kelakukan.

Jadi intinya, kita akan cenderung mengalami perasaan tidak nyaman, bingung, bahkan cemas jika ada pemikiran atau keyakinan yang bertentangan.

Teori ini pertama kali digagas oleh Leon Festinger pada tahun 1957 melalui bukunya, “A Theory of Cognitive Dissonance”.

Asumsi Teori Disonansi Kognitif

Terdapat 4 asumsi yang mendasari teori ini, yaitu:

1. Manusia Ingin Selalu Konsisten dalam Sikap, Perilaku, dan Keyakinan

Asumsi yang pertama adalah bahwa tiap individu selalu ingin memiliki sikap, perilaku, dan keyakinan yang sejalan. Sebab, dari keselarasan antara ketiga hal tersebutlah rasa nyaman dan nikmat akan timbul.

Sebaliknya, adanya inkonsistensi dalam sikap, perilaku, atau keyakinan seseorang akan menimbulkan ketidaknyamanan, dan ia akan selalu berusaha menghindarinya.

2. Disonansi Diciptakan Karena Inkonsistensi Psikologis

Dibanding keadaan logis, disonansi lebih merujuk pada keadaan psikologis yang dirasakan manusia karena adanya inkonsistensi.

3. Disonansi adalah Konflik yang Mendorong Individu untuk Bertindak dengan Dampak yang Terukur

Asumsi yang ketiga menjelaskan bahwa ketika individu mengalami konflik karena adanya pertentangan antara sikap, perilaku, dan keyakinan, ia akan merasa tertekan.

Alhasil, hal tersebut mendorongnya untuk mengambil tindakan yang dapat diukur atau dinilai secara objektif oleh orang lain.

Misalnya begini, Ali meyakini bahwa merokok itu berbahaya. Sementara itu, ia sendiri merupakan perokok. Alhasil, timbul konflik pada dirinya yang membuatnya tidak nyaman.

Akhirnya, Ali melakukan tindakan untuk mengurangi disonansi kognitif tersebut, yaitu dengan berhenti merokok. Nah, berhenti merokok adalah suatu tindakan yang dapat diukur, dinilai, dan dilihat oleh orang lain.

4. Disonansi Membuat Seseorang Mencapai Konsistensi

Asumsi terakhir adalah bahwa perasaan tidak nyaman yang diciptakan karena adanya disonansi membuat seseorang mengambil tindakan tertentu untuk mencapai konsistensi.

Misal dalam kasus sebelumnya, adanya perasaan tidak nyaman yang dialami Ali membuatnya mengambil tindakan, yaitu berhenti merokok.

Nah, tindakan berhenti merokok tersebut akhirnya bisa menyelaraskan antara keyakianan dan perilaku Ali yang sebelumnya tidak konsisten.

Contoh Teori Disonansi Kognitif dalam Kehidupan Sehari-Hari

Sebenarnya dalam section sebelumnya, sudah dipaparkan sedikit contoh kasus teori disonansi kognitif yang dapat membantu kamu memahaminya.

Namun, agar lebih paham lagi, kamu bisa menyimak contoh teori disonansi kognitif di kampus berikut ini:

Ani adalah seorang mahasiswa semester 1 di sebuah universitas terkenal. Ani sendiri memiliki cita-cita untuk lulus dengan nilai cumlaude.

Untuk mencapai nilai cumlaude, Ani yakin bahwa salah satu cara yang dapat ia lakukan adalah dengan belajar yang rajin.

Akan tetapi, alih-alih belajar, yang ia lakukan sekarang malah lebih sering bersenang-senang bersama teman-temannya.

Akhirnya, timbul perasaan tidak nyaman di benak Ani. Ia seharusnya belajar, tetapi malah sibuk bermain dan melupakan kewajibannya.

Nah, contoh di atas mencerminkan bahwa Ani sedang mengalami disonansi kognitif antara keharusan untuk belajar atau keinginan untuk bermain bersama teman.

Untuk mengurangi disonansi dan perasaan nyaman yang dialami Ani, ia bisa memilih beberapa opsi berikut:

  1. Lanjut bermain bersama teman-teman dan mengubah pemikirannya bahwa ia tidak harus lulus dengan nilai cumlaude
  2. Lanjut bermain bersama teman-teman dan berpikir bahwa belajar bukanlah kunci utama dalam meraih nilai cumlaude. Artinya, ia masih bisa mendapat cumlaude meskipun bermain bersama teman-teman
  3. Berhenti bermain dan fokus untuk belajar agar bisa lulus dengan nilai cumlaude

Apa pun pilihan yang dipilih Ani, dapat kita simpulkan bahwa adanya disonansi yang dirasakannya mendorongnya untuk melakukan tindakan tertentu.

Yang mana, tindakan tersebut akhirnya akan menimbulkan keselarasan atau konsistensi antara perilaku dan keyakinan atau pemikiran Ani.

Itulah dia penjelasan lengkap mengenai apa itu teori disonansi kognitif dan contohnya yang perlu kamu pahami.

Jadi, sekarang paham, kan, bahwa manusia cenderung ingin selalu konsisten dalam pemikiran dan sikapnya.

Jika adanya inkonsistensi, mereka biasanya akan melakukan tindakan tertentu untuk mencapai keselarasan.

Nah, kalau kamu tertarik untuk membaca insight seputar ilmu komunikasi, marketing, dan public relation, yuk kunjungi web Stories from BRIEFER untuk membaca artikel lainnya!

Baca juga:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *