Mengenal Cancel Culture
Dilansir dari artikel jurnal Kim Seon Ho, You Are Cancelled: The Collective Understanding of Cancel Culture oleh Cendera Rizky Bangun dan Nareswari Kumaralalita dari Komunikatif: Jurnal Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Siapa yang pernah menonton Start Up dan Hometown Cha Cha Cha?
Ya, tahun 2020 merupakan masa kejayaan dari Kim Seon Ho, salah satu aktor Korea yang telah membintangi banyak drama. Beberapa diantaranya adalah Hometown Cha Cha Cha dan Start Up. Tak sedikit brand yang telah menjadikannya sebagai ambassador dan bintang iklannya, Domino’s Pizza, La Roche Posay, dan lain-lain.
Namun beberapa waktu lalu, tepatnya pada bulan oktober 2021, tak selalu diatas, Seon Ho sempat mengalami masa sulit dalam karirnya dimana ia mengalami skandal yang tak terduga. Ia disebut-sebut sebagai orang yang memaksa mantan pacarnya untuk menggugurkan bayinya sendiri. Very unexpected coming from someone who looks so polite and innocent, right?
Semenjak berita tersebut keluar, secara sekejap ia menjadi objek dari ‘cancel culture’ para netizen. Beberapa brands juga sempat memberhentikannya sebagai ambassador mereka.
Apa itu cancel culture?
Tulisan ini akan menjelaskan apa itu cancel culture berdasarkan jurnal penelitian dari Cendera Rizky Bangun, Universitas Multimedia Nusantara dan Nareswari Kumaralalalita, LSPR Communications & Business Institute.
Nah, jika dilihat dari studi literatur penelitian ini, cancel culture merupakan fenomena di mana seorang individu yang sudah melanggar suatu norma akan dikucilkan di media sosial dan tempat lain oleh anggota masyarakat (Saint-Louis, H., 2021).
Dari pemaparan pengertian cancel culture diatas, bisa dilihat bahwa Kim Seon Ho telah menjadi objek hal tersebut dengan banyaknya orang yang mengkritik dan mengucilkannya di media sosial, mulai dari cuitan-cuitan yang menghakimi dan kesal terhadap perbuatannya serta ajakan untuk tidak lagi mendukung karirnya sebagai aktor.
Tak hanya individual-individual biasa, seperti yang sudah dikatakannya sebelumnya, banyak sekali brand yang memberhentikan kerja samanya terhadap aktor Korea tersebut. Jika dilihat, ada lebih dari 10 brand lho yang melakukannya. Pada bulan itu, rasanya karir Kim Seon Ho berakhir dalam sekejap akibat cancel culture.
But wait, apakah cancel culture bersifat sama di setiap negara?
Berdasarkan pernyataan Vega, salah satu informan dari penelitian ini, ia merasa cancel culture di Indonesia masih belum terasa. Menurutnya beberapa contoh dari kasus di Indonesia apabila ada seseorang khususnya public figure yang telah melakukan kesalahan, ia hanya akan masuk penjara dengan hukuman yang ringan, lalu keluar begitu saja dan muncul kembali dimana-mana. Jika dilihat dari kasus Kim Seon Ho ini juga, Vega menyatakan banyak sekali netizen yang sudah menggebu-gebukan kata ‘goodbye Seon Ho’, sedangkan di Indonesia, masih banyak fans atau netizen yang masih bersifat denial terhadap rumor yang beredar dengan perkataan seperti “Pasti gamungkin kaya gitu, dia orang yang baik.”
Berbeda di Korea, terkadang, public figure yang telah menjadi objek cancel culture ada yang menghilang begitu saja dan tidak pernah kembali lagi akibat dari kehancuran karir yang fatal.
Hal ini berkaitan dengan pernyataan dari Kim Hern-sik yang merupakan kritikus pop culture. Ia menyatakan bahwa orang-orang Korea memiliki struktur sosial kolektif (collective social structure) dimana mereka sangat mengedepankan standar moral diatas privasi individu. Hal tersebutlah yang membuat tokoh-tokoh terkenal ini sangat harus tunduk pada kode etik yang ketat. Ia juga mengatakan bahwa Korea memiliki media yang bersifat terpusat (walaupun hal ini berubah dengan adanya media sosial dan media digital), sehingga jika ada isu yang diangkat oleh beberapa media, mereka akan menyebar dengan cepat dan berdampak besar.
Di Korea sendiri, cancel culture telah menghadirkan pressure yang kuat. Mindy, salah satu informan mengatakan bahwa mudah sekali di zaman ini untuk menghancurkan karir seseorang karena adanya skandal pada kehidupan pribadinya. Alesso juga berkomentar apabila di beberapa wilayah di dunia, seseorang yang telah menjadi objek cancel culture masih bisa untuk hidup di lingkungannya, tapi banyak orang yang mempunyai pikiran untuk bunuh diri karena cancel culture yang ada di Korea.
Maka dari itu, ada pertanyaan yang tercuat daripada permasalahan ini. Apakah cancel culture itu layak untuk dilakukan terhadap seseorang atau malah terlalu berlebihan?
Dari semua informan yang ada, ada yang setuju dengan cancel culture, ada juga yang tidak setuju. Vega khususnya menyatakan bahwa cancel culture dapat menjadi ajang yang baik bagi para objeknya untuk mendapatkan self-reflection bahwa segala sesuatu yang ia perbuat memiliki suatu konsekuensi. Ia juga berpendapat bahwa kita tidak boleh membiarkan para public figure melakukan kesalahan dan membiarkannya berlalu begitu saja. Mereka harus mengerti bahwa banyak sekali orang yang menjadikannya role model. Ia juga tidak terlalu suka dengan bagaimana para public figure yang ada di Indonesia masih dapat dipuja-puji dan diangkat walaupun sudah melakukan kesalahan. Ia takut banyak orang akan terjerumus dengan hal itu, dan mulai mengikuti mereka.
Walaupun begitu, Vega juga mengatakan harus ada beberapa limitasi dari konsekuensi yang diberikan mengingat cancel culture ekstrim Korea yang tak hanya mempengaruhi karir dari seseorang, tetapi juga kehidupan pribadinya hingga munculnya beberapa isu mengenai bunuh diri. Ia hanya percaya bahwa, seseorang harus diberi hukuman atas kesalahan yang telah diperbuat sehingga baik untuk mundur sesaat dari hadapan publik. Banyak sekali anak-anak yang menonton TV dan melihat media sosial setiap harinya, jadi jika public figure tersebut tidak memiliki hal positif untuk diperlihatkan, hal itu akan berdampak buruk bagi setiap orang dan anak-anak yang menontonnya.
Berbeda dengan pendapat Vega, Alesso mengungkapkan bahwa ia kurang setuju dengan konsep cancel culture yang sekarang. Ia berpendapat bahwa cancel culture sekarang memiliki tujuan untuk secara penuh menghilangkan karir dari public figure yang telah menjadi objek dari cancel culture itu sendiri. Ia percaya bahwa seseorang dapat berubah dan harus diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan bertumbuh.
“Gak mungkin kalo kami mengatakan bahwa kami mendukung kemanusiaan tetapi premis kedua kami mengatakan bahwa seseorang gak bisa berubah, ‘orang ini harus di cancel!’ Ini tuh benar-benar menghilangkan seseorang dari lingkaran sosial dan bahkan menyingkirkannya.”
Ia memegang prinsip bahwa seseorang bisa berubah dan bisa berkembang dengan catatan jika seseorang melakukan kesalahan maka harus dihukum. Alesso merasa dengan membunuh karakter seseorang secara penuh dan menghilangkan tempatnya di masyarakat adalah hal yang kurang baik. Alesso juga menyatakan bahwa kita juga harus tahu bahwa banyak kejadian yang tidak seburuk pemberitaan media yang dimana kita harus selalu mencoba memahami beritanya secara komprehensif. Dengan itu, kita tidak akan membatalkan orang yang salah, dan apabila benar ia melakukan kesalahan itu, ia akan mendapatkan hukuman yang adil dan sesuai berdasarkan peraturan hukum yang berlaku.
Lalu, bagaimana kesimpulannya?
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa cancel culture memiliki sisi baik dan buruk tergantung bagaimana kita menyikapinya, baik dari korban maupun dari netizen yang melihatnya. Dari kasus Kim Seon Ho ini sendiri, ia telah menerima hukumannya dengan istirahat dari drama, pertunjukan, atau iklannya. Dengan melakukan itu, ia telah mendapatkan lebih banyak simpati, publik tidak lagi mau ‘ngecancel’, tapi malah ingin aktor Korea itu balik lagi untuk bersinar di industri entertainment.
Untuk menghadapi cancel culture, kita sebaiknya untuk bersikap asertif, ketimbang reaktif. Melihat dari kejadian ini, kita bisa melihat manusia bisa tumbuh dan berubah menjadi lebih baik. All they need is a second chance.
Gak hanya dari kasus Kim Seon Ho, inget gak kasus Johnny Depp dimana ia di cancel karena dianggap telah melakukan kekerasan terhadap mantan istrinya Amber Heard? Tapi ternyata semuanya salah dan malah kebalikannya, orang-orang yang telah ngecancel Johnny Depp sekarang malah mendukungnya. Dari situ kita juga belajar bahwa kita harus selalu melihat segala suatu kejadian dari segala sisi dan lebih proaktif dalam mencari informasi yang benar sebelum bertindak.
Maybe we should try to humanize humans more.
Cendera Rizky Bangun dan Nareswari Kumaralalalita
Jika kamu ingin lebih tahu detail dari jurnal ini, langsung download disini