Kpopers atau penggemar Kpop sering dikenal sebagai fans dengan tingkat loyalitas yang tinggi. Oleh karena itu, tak jarang mereka memiliki kekuatan yang cukup besar dalam menggerakkan massa dan membuat gerakan dalam media sosial.
Tak hanya dalam K-pop, akhir-akhir ini muncul istilah baru yang mewarnai pemilu, yakni Kpopfication. Sebenarnya, apa sih Kpopfication itu? Yuk, kita bahas!
Apa itu Kpopfication?
Kpopfication dapat diartikan sebagai sebuah perilaku mengubah sesuatu yang bukan Kpop menjadi Kpop.
Salah satu contohnya adalah Nassar, seorang penyanyi dangdut yang tidak ada kaitannya dengan dunia Kpop. Namun, pada akhirnya entah mengapa Nassar mendapatkan panggilan oppa Nassar dan memiliki photocard dan lightstick tersendiri yang diberi nama Nastar Bong. Semua hasil tersebut merupakan hasil organik dari fans-nya sendiri bukan dari pihak manajemen. Itulah yang disebut sebagai kpopfication.
Kpopfication Dalam Komunikasi Politik
Kalau dalam dunia komunikasi politik, Kpopfication ditandai dengan framing image paslon / pejabat pemerintah layaknya seperti idol Korea. Atribut yang menyertai framing tersebut juga akan mengikuti atribut idol Korea, seperti lightstick, food truck, dan merch lainnya.
Yapz, akhir-akhir ini politik indonesia juga diwarnai dengan fenomena Kpopfication terutama pada pasangan calon nomor urut 1 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Mulanya fenomena ini berasal dari akun platform X yang bernama @aniesbubble.
Akun ini muncul beberapa hari setelah Anies Baswedan melakukan Live TikTok. Layaknya fanbase idol Korea pada umumnya, akun ini berisikan cuplikan aktivitas dilakukan oleh Anies sendiri, termasuk ketika beliau sedang melakukan Live TikTok. Cuplikan tersebut kemudian di kpopfication dengan caption yang ditulis menggunakan hangeul (aksara korea).
Kpopfication paslon nomor urut 1 juga berlanjut yang ditandai dengan munculnya food truck, website haveaniesday, dan lightstick Anies Baswedan seperti gambar dibawah ini.
Bagaimana Fenomena Ini Mengubah Komunikasi Politik?
Tentunya, adanya fenomena ini membuat politik menjadi tidak terlalu kaku dan membosankan seperti pada periode sebelumnya. Politik terasa lebih dekat dan semua masyarakat Indonesia seakan diajak untuk ikut serta dalam politik.
Gen Z yang sebelumnya skeptis dengan politik juga menjadi lebih terbuka dan mau ikut serta dalam pembicaraan politik. Tentunya, fenomena ini pada akhirnya menjadi strategi para paslon untuk menggaet hati Gen Z agar mau memilih mereka ketika pemilu.
Kalau Briefee sendiri merasa ga pemilu tahun ini berbeda dari biasanya?
Mau tahu insight lainnya seputar dunia komunikasi? Yuk kunjungi laman web Stories From BRIEFER dan nantikan update lainnya. See you!