Pernahkah kamu merasa bahwa perempuan jarang menduduki posisi tinggi di tempat kerja? Nah, glass ceiling dapat menjadi salah satu penyebab utamanya.
Di Indonesia, data menunjukkan bahwa dari 2,82 juta pekerja di jabatan manajerial, hanya 33,08% yang merupakan perempuan. Hal ini tentunya menunjukkan gap yang sangat besar dengan laki-laki.
Nyatanya, lebih sedikitnya perempuan yang menduduki posisi tinggi di tempat kerja bukan disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau keterampilan, lho.
Artikel ini akan menjelaskan lebih lanjut tentang istilah glass ceiling, hambatan yang bisa membatasi perempuan untuk berkarir tinggi. Yuk, simak!
Apa itu Glass Ceiling?
Istilah glass ceiling pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978 oleh Marilyn Loden. Ia menyebut bahwa perempuan sangat sulit atau bahkan kerap tidak bisa menduduki posisi manajerial.
Glass ceiling sendiri adalah istilah yang menggambarkan adanya hambatan atau penghalang yang tidak terlihat tetapi mutlak, yang dapat mencegah perempuan untuk menduduki posisi tinggi di tempat kerja.
Jadi, meskipun banyak perempuan yang memiliki kualifikasi dan kemampuan yang setara atau bahkan lebih baik dibanding laki-laki, tetapi perempuan kerap merasa kesulitan untuk menembus batasan ini.
Sebenarnya, istilah ini tidak hanya merujuk pada hambatan bagi perempuan di tempat kerja, tetapi juga kelompok minoritas lainnya, seperti misalnya kaum disabilitas dan kulit hitam.
Penyebab Glass Ceiling
Mengapa disebut hambatan tak terlihat? Hal ini karena hambatan tersebut sebenarnya disebabkan oleh faktor kultural, yaitu adanya budaya patriarki.
Seperti yang kita tahu, budaya patriarki yang berkembang di masyarakat memposisikan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dalam kehidupan sosial.
Alhasil, hal ini kerap membuat perempuan termarjinalkan dan dianggap kurang pandai, kurang cerdas, dan kurang cakap jika dibandingkan laki-laki.
Oleh karena itu, saat perempuan berusaha untuk naik ke puncak karir, mereka sering kali menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan bias yang menghalangi kemajuan mereka.
Jadi pada intinya, berikut penyebab glass ceiling:
- Adanya stereotip gender yang merendahkan perempuan atau kaum marjinal lainnya, misalnya stereotip bahwa perempuan itu tidak lebih cerdas dari laki-laki
- Bias tidak sadar
- Beban ganda perempuan antara pekerjaan dan tanggung jawab di rumah
- Kurangnya dukungan dan jaringan profesional yang sering kali lebih mudah diakses laki-laki
- Kurangnya representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan
Contoh Kasus Glass Ceiling di Indonesia
Pada Agustus 2022 lalu, Magdalene bersama dengan Cakra Wikara Indonesia (CWI) mempublikasikan studi mengenai persentase kepala sekolah berdasarkan gendernya.
Pada data di atas, dapat kita lihat bahwa kepala sekolah di Indonesia dari jenjang SD-SMA masih didominasi oleh laki-laki.
Riset tersebut juga kemudian menyebut bahwa ada hambatan yang dialami perempuan saat ingin naik jabatan menjadi kepala sekolah.
Hambatan tersebut salah satunya yaitu banyak guru perempuan yang sudah menikah memerlukan izin suami terlebih dahulu sebelum menduduki posisi kepala sekolah.
Izin tersebut dianggap penting, karena jika perempuan menduduki posisi kepala sekolah, maka peran domestik pun akan terdampak.
Alhasil, banyak guru perempuan yang merasa kurang percaya diri terhadap kemampuannya untuk berkarir menjadi kepala sekolah.
Fenomena di atas merupakan contoh kasus glass ceiling yang ada di Indonesia, di mana perempuan masih diekspektasikan untuk bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan domestik.
Padahal, pekerjaan domestik bukan hanya tanggung jawab perempuan atau ibu, melainkan semua pihak yang ada dalam rumah tangga.
Selain itu, hal ini juga menyiratkan bahwa pekerjaan perempuan masih kerap dikesampingkan atau tidak diprioritaskan, dan bahwa pekerjaan utama perempuan adalah pada ranah domestik.
Cara Mengatasi Glass Ceiling
Sebenarnya, cara mengatasi atau setidaknya meminimalisasi hambatan yang dialami perempuan untuk berkarir lebih tinggi adalah dengan membentuk kebijakan yang mendukung kesetaraan gender.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan organisasi masyarakat untuk lebih sadar akan adanya ketimpangan gender, sehingga dapat sama-sama berupaya untuk menciptakan lingkungan yang lebih setara.
Nah, sebagai perempuan, ada juga beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengikis hambatan-hambatan yang dialami, yaitu:
- Berani untuk menunjukkan kualitas hasil pekerjaan dan pencapaianmu
- Selalu berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik untuk membuktikan bahwa kamu memiliki kemampuan
- Bangun relasi seluas-luasnya, karena semakin luas relasi, maka peluang karirmu pun akan semakin besar
- Fokus mengembangkan diri dengan mengikuti pelatihan skill
Sekian penjelasan tentang apa itu glass ceiling, mulai dari pengertian, penyebab, contoh kasus, hingga cara mengatasinya.
Meskipun terdapat sejumlah cara untuk meminimalisasinya, tetapi perlu diingat bahwa glass ceiling melibatkan faktor kultural, sehingga dibutuhkan sinergi semua pihak untuk mewujudkan lingkungan yang lebih setara gender.
Semoga informasi ini bermanfaat, ya, Briefee! Yuk, kunjungi website Stories from BRIEFER untuk membaca artikal lainnya seputar dunia kerja!