Ciri-ciri Orang FOMO, Apakah Kamu Salah Satunya?

Pernahkah kamu merasa cemas karena tertinggal sebuah tren? Atau mungkin sedih kalo tidak bisa ikut-ikut agenda nongkrong temen-temen? Di zaman sekarang, perasaan itu dikenal dengan yang namanya FoMO.

FoMO merupakan singkatan dari Fear of Missing Out, suatu kondisi dimana seseorang terus merasa khawatir akan ketinggalan kabar atau tren yang sedang berlangsung. Kamu yang merasakan ini, mengacu pada perasaan cemas yang muncul dari kesadaran bahwa orang-orang mungkin kehilangan pengalaman berharga yang dimiliki orang lain atau mendorongmu untuk tetap mengetahui berbagai aktivitas melalui Instagram, Twitter, Tiktok, atau Youtube. 

Apakah kamu pernah mengalaminya? – sayangnya hal ini merupakan sesuatu yang kurang baik. FoMO timbul dari ketidakbahagiaan atau ketidakpuasan. FoMO mungkin terjadi karena seseorang tidak merasa terlalu hebat tentang hidupnya. Dari hasil penelitian, menurut Przybylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013), mereka yang tidak memiliki the low-level dari dasar kebutuhan psikologis diri cenderung menunjukkan perilaku takut kehilangan yang lebih tinggi. 

Apa saja dasar dari kebutuhan psikologis diri itu?

A. Relatedness (Keterkaitan)

Keterkaitan adalah kebutuhan seseorang untuk memiliki perasaan terhubung dengan orang lain. Jika seseorang memiliki hubungan sosial yang hangat dan penuh perhatian, dirinya pasti akan merasa puas akan koneksi yang dimiliki. Dari sini individu tersebut memperoleh lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, muncullah kecemasan dan berujung mencari tahu pengalaman orang lain melalui media sosial. Oleh karena itu, orang-orang akan mulai berlomba-lomba untuk selalu merasa terhubung dan akhirnya mengarah pada perilaku FoMO.

B. Competence & Autonomy (Kompetensi & Otonomi)

Kompetensi didefinisikan sebagai harga diri individu untuk menjadi efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kepuasan kompetensi yang rendah menyebabkan individu menjadi frustasi dan merasa putus asa. Sementara otonomi adalah pengalaman memiliki pilihan, dukungan dan kemauan. Diartikan bahwa individu bebas untuk memilah tindakan yang diambil atas inisiatif mereka sendiri tanpa terikat. Oleh karena itu, orang FoMO cenderung terus menyesuaikan trend karena takut tertinggal tidak karena inisiatif dari dirinya sendiri.

Tahukah kamu bahwa Fear of Missing Out merupakan bagian dari social anxiety. Menurut penelitian yang dilakukan seorang psikolog asal San Diego, Dr. Mary Bosker, PhD (2012), 40% pengguna internet di dunia mengalami fenomena FoMO. Seperti yang dilansir VeryWellMind, perasaan FoMO ini dapat terjadi pada semua gender dan umur. 

Banyak gaya hidup yang menunjukkan seseorang sudah masuk kedalam siklus FoMO. Apakah kamu salah satunya? Yuk coba refleksikan dengan menjawab pertanyaan di bawah ini :

  1. Apakah kamu selalu mengecek gadget tepat ketika bangun tidur?
  2. Apakah kamu membuat konten media sosial karena keinginan untuk diakui orang lain?
  3. Apakah kamu selalu ingin tau hot news dan gosip terbaru?
  4. Apakah kamu mengeluarkan uang melebihi kemampuan dan membeli hal yang sebenarnya tidak kamu butuhkan agar tidak ketinggalan zaman?
  5. Apakah kamu pernah terpaksa mengatakan “ya/oke” hanya agar tidak ketinggalan apapun?

Memelihara kebiasaan FoMO bukanlah keputusan yang bagus. Fear of Missing Out yang berlebih akan mengantarkan kita dalam kecemasan, dimana kecemasan adalah suatu hal yang mampu memicu stress berlebihan. Produksi hormon-hormon penting dalam tubuh seperti serotonin dan adrenalin akan terganggu. Selain itu, susah tidur, tidak nafsu makan, sakit kepala dan mood kacau bisa muncul ketika hormon dalam tubuhmu tidak seimbang.

Meskipun FoMO sangat berkaitan dengan penggunaan media sosial, penting untuk selalu kita ingat bahwa hal ini adalah perasaan yang nyata dan umum di antara orang-orang dari segala usia. Setiap orang merasakan FoMO pada tingkat tertentu dan dalam waktu yang berbeda di hidup mereka. Merasa cukup dengan kehidupan masing-masing membuat kita lebih menghargai diri dan lebih bahagia.

Social media makes it worse, not better. Instagram isn’t evil — but relying on it for happiness is. Focus on the good and you will feel good.