Bangkitkan Industri Pariwisata Dengan Strategi Ini!

It’s happening! Marketing dan periklanan harus terus berpikir kreatif dan inovatif dalam menghadapi kenormalan baru dan perubahan perilaku konsumen. Baik brand maupun korporasi akan berhadapan dengan dinamika pasar, persaingan ketat, identifikasi potensial konsumen, potensial produk hingga layanan-layanan yang sesuai kebutuhan konsumen saat ini. Strategi iklan pun perlu dipilih secara cermat, apakah brand lebih memerlukan push strategy atau pull strategy. 

Kita bahas kedua strategi tersebut secara singkat yah! 

Push strategy menurut Philip Kotler (2003) adalah sebuah strategi untuk berusaha mendorong sebuah produk kepada konsumen. Strategi ini biasanya kamu temukan saat sales person menawarkan produk langsung kepadamu. Sedangkan pull strategy adalah strategi yang memakai iklan sebagai alat promosi untuk menciptakan permintaan konsumen sehingga mampu merangsang daya beli masyarakat. 

Sayangnya, Robert McKee and Thomas Gerace (2018) dalam bukunya ‘Storynomics : story-driven marketing in the post-advertising world’ berpendapat bahwa push strategy mulai kehilangan daya tarik sehingga marketers bahkan public relations dan konsultan industri komunikasi mulai mengubahnya ke pull strategy, memanfaatkan penceritaan yang efektif sebagai metode penjualan. We can call it as Storynomics, a method to reach, acquire and retain customer on the different level. 

Namun, apa sebenarnya sih story dalam istilah komunikasi? Apa komponennya dan bagaimana komponen tersebut dapat menjadi bagian dari kesatuan cerita? Bagaimana juga cerita yang kita buat mampu menyampaikan pesan yang kita inginkan? 

Story dimaknai sebagaisebuah kisah yang menggerakkan emosi kita dan menarik perhatian melalui makna bernilai yang terhubung dalam hidup kita. A story is a life changing conflict.Korporasi, brand, bahkan pariwisata pun mulai menggunakan metode penceritaan dalam strategi marketingnya agar lebih mudah terkait dengan target market yang mayoritas generasi millennials dan generasi z.

Nah, dalam brand dan korporasi, istilah penceritaan ini biasa disebut brand storytelling atau corporate storytelling. Temukan detailnya dalam artikel kami sebelumnya disini https://stories.briefer.id/20 22/09/06/satu-elemen-penguat-branding-yang-tidak-kamu-sadari/ . Sementara istilah story industri pariwisata yaitu storynomics tourism. 

Sebutan tersebut kencang digaungkan oleh Kemenparekraf pada tahun 2021 untuk mendorong bangkitnya industri pariwisata tanah air. Storynomics tourism dianggap pendekatan pariwisata yang menitikberatkan pada narasi, konten kreatif dan budaya. Metode penceritaan ini mengkaitkan aksesibilitas, atraksi dan amenitas dengan awareness serta experience yang dirasakan oleh pengunjung maupun calon pengunjung.   

Pada praktiknya, kamu pasti sudah pernah mendengar cerita tentang daerah-daerah wisata ketika kamu sedang travelling. Sebab, Storynomics tourism memang menyorot cerita mengenai historis, geologis, geografis hingga living culture dalam setiap destinasi. Misalnya, kisah Danau Toba yang terbentuk dari tiga letusan besar Gunung Toba. Letusan pertama menghasilkan kaldera di sisi selatan, letusan kedua membentuk kaldera di sisi utara, letusan ketiga yang terbesar mengubah Gunung Toba menjadi Danau Toba.

Selain sejarah tempat, Storynomics tourism juga dapat memanfaatkan cerita rakyat yang apabila dikemas secara menarik maka akan mempengaruhi nilai ekonomi dan branding lho! Salah satu contohnya yang kamu tahu adalah Gunung Tangkuban Perahu sangat berkaitan dengan legenda Sangkuriang, kemudian ada kisah Putri Mandalika di Lombok. 

Tahukah kamu jika kisah rakyat ini telah digunakan brand Dancow bertahun-tahun lalu pendekatan kepada konsumen ibu-ibu? Mereka mempunyai program Dongeng Aku dan Kau yang bisa kamu lihat di website page atau temukan langsung buku dongengnya dalam kemasan Dancow tertentu. 

Diluar cerita sejarah maupun budaya destinasi, kuliner juga nggak kalah penting buat bumbu lokasi wisata. Indonesia punya banyak sekali kuliner enak dan kisah dibalik makanan-makanan tersebut. Misalnya Coto Makassar yang dulunya makanan untuk rakyat di luar kerajaan, atau sate yang menjadi symbol pemersatu masyarakat madura. 

Storynomics tourism perlahan berpotensi membantu promosi 5 destinasi super prioritas yang direncanakan pemerintah yaitu Candi Borobudur, Danau Toba, Likupang, Mandalika, dan Labuan Bajo. Sebab travelling tak hanya memperkaya pengalaman, insight tentang perspektif berpikir baru tapi juga mampu mengubah hidup kita lebih bermakna. Fakta ini pun didukung oleh Havas reports yang menyebutkan bahwa meaningfulness drives disproportionate financial results.

Lalu, apa saluran yang kira-kira membantu penguatan Storynomics Tourism? Kita bisa mulai dengan langkah Organic Reach – Search dan Social dari pengunjung destinasi baik di blog maupun sosial media. Setelah itu, kita dorong iklan di berbagai saluran hingga mengajak influencer relevan untuk membagikan pengalamannya di destinasi yang membutuhkan lebih banyak promosi. Selengkapnya ada di dalam lingkaran berikut : 

Semoga artikel ini lebih membantumu memahami mengenai konsep dari Storynomics yah, Briefee! Jadi, pengen jalan-jalan ke destinasi yang mana nih? 😊