Sebuah ulasan literatur dari riset yang dilakukan oleh W. Timoothy Coombs & Elina R. Tachkova berjudul “How Emotions Can Enhance Crisis Communication: Theorizing Around Moral Outrage“
Krisis merupakan situasi yang mau tidak mau bisa menyerang perusahaan apa pun jenisnya. Karena memiliki dampak negatif terhadap perusahaan, penting untuk melakukan tindakan yang tepat untuk menghadapi krisis. Tidak semua krisis memiliki dampak yang sama, beberapa di antaranya terkadang menyebabkan dampak negatif yang lebih besar terhadap perusahaan dan reaksi emosional publik yang lebih kuat.
Salah satu jenis krisis yang kompleks dan menantang adalah “sticky crisis“. krisis ini umumnya berlangsung lama, menyebar di industri, dan memengaruhi berbagai wilayah. Sticky crisis juga menimbulkan kemarahan moral dari publik yang lebih besar daripada krisis biasa. Misalnya, penipuan yang disengaja oleh manajemen akan dinilai publik lebih keras daripada kecelakaan yang disebabkan oleh karyawan.
Sticky crisis bisa muncul dari masalah sosial kompleks yang tidak memiliki solusi jelas, seperti hak aborsi dan hubungan sesama jenis. Akibatnya, masalah ini sering kali menyebabkan perpecahan dalam masyarakat. Ketika perusahaan mengambil sikap pada masalah ini, mereka otomatis membuat pihak lawan marah, membuat krisis menjadi sangat sulit dikelola
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sticky crisis memerlukan perhatian khusus dan pendekatan komunikasi yang serius. Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa panduan komunikasi krisis yang sudah ada tidak selalu efektif dalam menangani krisis jenis ini, sehingga diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentangnya.
Artikel jurnal yang ditulis oleh Coombs & Tachkova ini mencoba menyajikan pendekatan teoretis baru dalam memahami komunikasi krisis yang kompleks dan memicu kemarahan moral dari publik tersebut. Untuk memahami penyelesaian sticky crisis, penting untuk mengetahui bagaimana publik menilai krisis. SCCT, contingency theory, dan cognitive appraisal theory membantu menjelaskan pengaruh kognisi, emosi, dan moral dalam penilaian krisis.
Peran kognisi menurut SCCT
Orang-orang ingin tahu mengapa suatu krisis terjadi, atau lebih tepatnya, mengapa tindakan yang memicu krisis itu terjadi. Alhasil, orang mengaitkan tanggung jawab krisis atas suatu krisis baik kepada perusahaan yang sedang mengalami krisis atau faktor situasional di luar. Karena orang-orang memberikan tanggung jawab krisis yang lebih besar kepada suatu perusahaan, respons krisis harus menjadi lebih akomodatif
Hubungan kognisi dan emosi menurut contingency theory dan cognitive appraisal theory
Premis utama dari contingency theory adalah bahwa dalam menghadapi krisis, perusahaan dapat menentukan apakah akan mengakomodasi pemangku kepentingan atau mengadvokasi posisinya sendiri untuk melayani tujuan strategisnya tergantung pada ancaman yang dihadapi, entah itu dari luar (seperti liputan media yang merugikan) atau dari dalam (seperti tantangan dari karyawan).
Namun, tidak seperti SCCT, teori ini mengakui peran emosi ketika orang menilai situasi krisis. Semakin kuat ancaman yang diterima, maka semakin intens pula perasaan yang dialami, yang akhirnya memengaruhi sikap yang diambil untuk menyelesaikan krisis
Teori lainnya yang mendukung premis bahwa emosi berperan dalam penilaian krisis adalah cognitive appraisal theory yang menunjukkan bahwa krisis yang memicu kemarahan moral dari publik dapat mengabaikan strategi respons krisis yang efektif sebelumnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa emosi memainkan peran penting dalam menentukan respons krisis yang tepat dan efektif.
Hubungan antara moral dan emosi
Krisis sering memicu emosi moral dari publik, terutama pada mereka yang tidak langsung terkena dampak (bukan merupakan korban). Emosi moral dibagi menjadi beberapa kategori, seperti empati (misalnya, belas kasihan), pujian diri (misalnya, rasa syukur), kesadaran diri (misalnya, rasa malu), dan penghinaan terhadap orang lain (misalnya, kemarahan).
Nah, kemarahan moral termasuk dalam kategori emosi penghinaan terhadap orang lain karena mencerminkan kepedulian terhadap keadilan dan kecenderungan untuk mencari balas dendam. Penelitian tentang krisis yang memicu kemarahan moral menunjukkan perlunya mempertimbangkan bagaimana kemarahan moral mempengaruhi komunikasi krisis.
Sticky crisis, krisis yang memicu kemarahan moral
Berdasarkan tinjauan teoritis yang telah dipaparkan, Coombs & Tachkova mengembangkan serangkaian preposisi untuk menjelaskan sticky crisis, krisis yang memicu kemarahan moral dari publik, yaitu:
- Sticky crisis menciptakan persepsi inkongruensi nilai yang lebih besar dibandingkan krisis biasa
- Sticky crisis lebih mungkin menyebabkan infamitas karena memicu disidentifikasi dibandingkan krisis biasa
- Sticky crisis akan menghasilkan keinginan yang lebih kuat untuk menghukum pihak yang terlibat dalam krisis dibandingkan krisis biasa
- Sticky crisis akan memperoleh perhatian media dan menghasilkan unggahan di media sosial yang lebih banyak dibandingkan krisis biasa
- Rasa empati yang lebih besar terhadap korban dari sticky crisis akan memperkuat persepsi terhadap pelanggaran moral, yang pada gilirannya menimbulkan keinginan yang lebih kuat untuk menghukum pihak yang terlibat dalam krisis
- Penggunaan respon suboptimal (yang tidak banyak berfokus pada penyelesaian masalah yang menyebabkan krisis) tidak membantu dalam mengatasi sticky crisis. Sebaliknya, respon jenis ini malah akan meningkatkan persepsi inkongruensi nilai, keinginan untuk menghukum pihak yang terlibat, dan meningkatkan empati terhadap korban krisis
- Penggunaan respon yang optimal akan mengurangi persepsi inkongruensi nilai dan mengurangi disidentifikasi, serta mengurangi keinginan untuk menghukum pihak yang terlibat
Untuk yang ingin membaca riset lengkapnya tentang topik ini, kamu bisa mengaksesnya melalui link berikut, ya!