Love Next Door merupakan salah satu drama Korea yang sedang banyak dibicarakan. Meskipun bergenre komedi-romantis, drakor ini sedikit banyak menceritakan tentang realita pahit dalam dunia kerja. Yuk, simak penjelasannya!
Tentang Drakor Love Next Door
Love Next Door adalah drama Korea besutan tvN yang baru saja tayang pada 17 Agustus 2024 lalu. Kini, ada total 6 dari 16 episode yang sudah tayang.
Drama Korea Love Next Door sendiri bercerita tentang Seok-ryu, perempuan yang berhasil bekerja di salah satu perusahaan bergengsi Amerika Serikat.
Namun suatu ketika, dirinya secara mengejutkan mengundurkan diri dari pekerjaannya tersebut dan kembali ke Korea Selatan.
Di kampung halamannya, ia bertemu kembali dengan Seung-hyo, teman masa kecilnya yang sekarang merupakan seorang arsitek ternama dan memiliki firma arsitektur sendiri.
Realita Pahit Dunia Kerja dari Drakor Love Next Door
Drama Korea Love Next Door banyak menceritakan realita dunia kerja yang pahit tetapi umum dialami banyak orang sekarang ini. Berikut beberapa di antaranya:
1. Rekan Kerja Bermuka Dua
Saat masih bekerja di Greip, salah satu perusahaan bergengsi di US, Seok-ryu bekerja dengan 3 orang rekannya, salah satunya Chris.
Chris merupakan blasteran Amerika-Korea yang sudah lama Seok-ryu percayai sebagai rekan kerjanya yang baik karena selalu mendukung Seok-ryu.
Namun suatu ketika, Seok-ryu tak sengaja mendengar pembicaraan Chris dengan 2 rekan kerjanya yang lain tentang dirinya.
Menurut Chris, Seok-ryu adalah orang yang haus pujian. Dengan hanya melontarkan beberapa kata pujian, Seok-ryu akan bersedia mengerjakan semua pekerjaannya.
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan perilaku Chris kepada Seok-ryu yang tampak selalu mendukung dan menyemangati Seok-ryu dalam bekerja.
2. Hustle Culture sudah Biasa
Setelah tiba di Korea kembali, Seok-ryu bercerita pada Seung-hyo bahwa ia merasa hidupnya selalu dalam kecepatan penuh.
Saat ia masih berkuliah di Korea Selatan, ia mendapat beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat dan dituntut untuk cepat beradaptasi di negeri baru tersebut.
Selepas lulus kuliah, Seok-ryu langsung mendapat pekerjaan bergengsi di Amerika Serikat dan bekerja keras selama di sana. Kemudian, Seok-ryu juga bertunangan dan berencana untuk menikah dengan pacarnya.
Seok-ryu pun merasa hal tersebut mulai melewat batas kemampuan yang bisa ia tanggung dan ia mulai kelelahan menjalani semuanya.
Di era sekarang ini, gaya hidup hustle culture (bekerja terlalu keras) sudah semakin umum. Orang-orang bekerja terlalu keras hingga melupakan istirahat dan kehidupan lainnya.
Padahal idealnya, work-life balance harus diterapkan untuk bisa menyeimbangkan karir dan kehidupan lainnya, sehingga kesehatan fisik dan mental pun terjaga.
3. Pressure Kerjaan yang Prestise dari Orang Tua
Semua orang tua memang ingin yang terbaik dari anaknya. Namun, tak jarang banyak orang tua yang menaruh ekspektasi terlalu besar hingga membebankan anaknya.
Hal inilah juga yang dialami Seok-ryu. Ibu Seok-ryu selalu membangga-banggakan anaknya kepada teman-temannya, mengatakan bahwa Seok-ryu adalah putri kebanggaannya karena bekerja di perusahaan ternama.
Namun, setelah Seok-ryu secara mengejutkan kembali ke Korea Selatan, ibunya memarahinya dan merasa kecewa padanya tanpa bertanya ada apa dengan Seok-ryu. Mereka pun sempat mengalami perdebatan panas.
Merasa bangga dengan pencapaian anak memang hal yang baik, tetapi alangkah baiknya juga untuk tetap mengapresiasi dan memahami anak apabila hal yang sebaliknya menimpa.
4. Bisnis Kecil akan Sering Diremehkan
Seung-hyo, teman Seok-ryu, baru saja membangun sebuah firma arsitek bersama rekannya. Namun, Ia sempat mengalami kesulitan karena tak kunjung mendapatkan klien baru.
Suatu haru, Greip, mantan perusahaan Seok-ryu, sedang mengadakan open tender dengan beberapa firma arsitek untuk merancang gedung barunya.
Atelier In, firma kepunyaan Seung-hyo, masuk dalam salah satu daftar firma yang dihubungi Greip. Hal ini tentu saja membuat Seung-hyo dan rekannya sangat gembira.
Karena Seok-ryu merupakan mantan karyawan Greip dan memiliki kecakapan Bahasa Inggris, rekan Seung-hyo pun meminta Seok-ryu untuk membantu berkomunikasi dengan Greip. Seok-ryu pun mengiyakan.
Suatu hari, setelah meeting pertama yang diadakan secara online berlangsung, Seok-ryu tidak sengaja mendengar pembicaraan tim Greip karena mic mereka masih menyala.
Dalam pembicaraan tersebut, tim Greip tampak meragukan Atelier In karena mereka masih merupakan firma baru dan mengatakan bahwa firma tersebut mungkin akan kalah dari Hwawoon, firma lain yang lebih terkenal.
Realitanya dalam dunia kerja, bisnis kecil memang kerap kali diremehkan dan dianggap kurang kompeten, bahkan tanpa tahu melihat portofolio atau hasil kerjanya terlebih dahulu.
5. Sulitnya Kerja sesuai Passion
Suatu hari, seseorang bertanya kepada Seok-ryu, “Apa cita-citamu?”. Mendengar jawaban itu, Seok-ryu merasa bingung dan tidak tahu apa sebenarnya cita-citanya.
Selama ini, Seok-ryu bekerja karena ingin membanggakan orang tuanya dan jadi nomor satu di sekolah. Ia tidak benar-benar memikirkan apa yang sebenarnya ia suka.
Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan Seok-ryu tidak merasa enjoy dan senang dalam menjalani pekerjaan lamanya, sehingga ia memutuskan resign.
Setelah ia pulang kembali ke Korea Selatan, Seok-ryu pun menyadari bahwa ia suka memasak dan ingin mendalami hobi tersebut menjadi profesi.
Namun sayangnya, ada orang di sekitarnya yang tidak mendukung impian Seok-ryu karena menganggap memasak adalah pekerjaan yang kurang prestise.
Bagaimana, Briefee, apakah kamu merasa relate dengan semua atau sebagian hal di atas?