Stoikisme: Jalan Menuju Kedamaian Hidup

Apakah kamu sering merasa stres, sedih, murung, atau gelisah? Ini waktu yang tepat bagi kamu untuk mengetahui mengenai Stoikisme. 

Apa itu Stoikisme?

Jika dibahas melalui namanya ‘Stoikisme’, Stoik berasal dari bahasa Yunani stōïkos, yang berarti serambi, atau beranda. Maka dari itu, Stoikisme juga biasa disebut dengan filosofi teras.

Nah, Stoikisme sendiri adalah sebuah filosofi yang dapat digunakan sebagai alat dalam mengejar penguasaan diri, ketekunan, dan kebijaksanaan. Melalui filosofi ini juga kamu dapat terbantu dalam mengontrol emosi negatif dan mensyukuri segala sesuatu yang kita miliki sekarang. Pandangan ini juga berfokus pada bagaimana manusia memilih untuk hidup dengan pasrah dan tawakal dalam menerima keadaannya di dunia. Tokoh-tokoh hebat dunia seperti George Washington, Eugène Delacroix, Immanuel Kant, Theodore Roosevelt, dan William Alexander Percy juga mengikuti dan sangat mengagumi filosofi ini. 

Filosofi ini memiliki beberapa prinsip dalam kehidupan:

  1. Jika kita ingin memiliki kehidupan yang tenang dan lancar, kita harus hidup dan bersinergi dengan alam dan apa yang diberikan kepada kita.
  1. Menerima dunia apa adanya (bukan mengharapkannya menjadi sesuatu yang bukan seharusnya).
  1. Kita harus percaya bahwa suatu benda bukanlah sumber dari kebahagiaan, melainkan dari kehidupan yang bajik. Maka dari itu, ada 4 kebajikan dalam Stoikisme, hal-hal tersebut ialah:
  • Kebijaksanaan (phronesis): Pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan yang  dapat membawa kita pada tindakan yang tepat (kathekonta). Di dalam kebijaksanaan, kita akan menemukan kualitas-kualitas bajik seperti pertimbangan yang sehat, kehati-hatian, kelihaian, kepintaran, ketepatan tujuan, dan kecerdikan.
  • Pengendalian diri (sophrosune): Pengetahuan tentang hal-hal apa yang layak dipilih dan apa yang patut dihindari dan apa yang tidak keduanya. Yang terkandung di dalam kebajikan ini adalah hal-hal seperti keteraturan, kesopanan, dan penguasaan diri.
  • Keadilan (dikaiosune): Pengetahuan tentang menangani segala situasi sesuai dengan sebagaimana harusnya. Hal ini seperti kebaikan, kolaborasi yang baik, serta transaksi yang adil.
  • Keberanian (andreia): Ketekunan, kebesaran hati, dan keteguhan hati.

4. Kita tidak dapat mengendalikan apa yang ada di luar kendali kita. Jadi fokuslah kepada hal-hal yang bisa kita kendalikan sendiri. Hal inilah yang biasanya membuat kita frustasi, stres, dan kecewa.

5. Fokus kepada progress, bukan kesempurnaan.

Bagaimana Stoikisme bisa ada?

Sekitar tahun 304 SM, seorang saudagar bernama Zeno terdampar di sebuah pelayaran dagang. Dia kehilangan hampir segalanya. Dalam perjalanannya ke Athena, ia diperkenalkan dengan filsafat oleh filsuf Sinis Crates dan filsuf Megarian Stilpo yang mengubah hidupnya. 

Dia kemudian pindah ke tempat yang dikenal sebagai Stoa Poikile, yang secara harfiah berarti “serambi yang dicat.” Disitulah ia membangun sekolah filosofi dimana filosofi Stoikisme itu sendiri lahir. Beribu-ribu tahun setelahnya, filosofi ini dikembangkan kembali oleh filsuf masyhur lainnya seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Hingga hari ini, Stoikisme masih sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan manusia zaman sekarang.

Bagaimana filosofi ini dapat membantu menghempas kecemasan, rasa stres yang ada, dan membuat kehidupan kita lebih tenang?

Ada beberapa hal yang dapat diterapkan untuk membantumu dalam menerapkan filosofi ini dan menjadi seorang ‘Stoic’ dan mulai berdamai dengan kehidupan.

  1. Dikotomi Kendali

Kita harus membedakan hal-hal apa saja yang bisa kita ubah dan yang tidak. Jangan mempermasalahkan hal-hal yang ada diluar kendali kita. Contohnya seperti kamu sedang buru-buru mengejar penerbangan ke Amerika supaya sampai besok paginya. Karena cuaca ekstrim yang tak terduga, penerbanganmu harus ditunda hingga besok paginya. Untuk menghindari rasa kecewa dan stres, kamu dapat mencoba untuk menenangkan dirimu dan mulai mengatakan pada diri sendiri “Ini bukan salahku kok, aku gak bisa kendalikan semua hal dalam hidupku.”

Hal tersebut akan membuatmu sedikit lebih tenang sehingga kamu tidak akan merasa frustasi, toh mau kamu marah, berteriak, atau ngapain lagi pun hal itu akan tetap terjadi. Save your energy and be one with nature, there must be reasons for everything. 

  1. Journaling

Kita dapat merefleksikan hari yang telah berlalu, mengingatkan diri sendiri tentang kebijaksanaan atau kebaikan yang telah kita pelajari dari guru kita, dari bacaan kita, dari pengalaman kita sendiri. Kita juga dapat menuliskan hal-hal apa saja yang kita syukuri pada hari itu, rencana kita kedepannya, dan lain-lain untuk merilis emosi kita selagi mempraktekkan Stoikisme dalam hidup dan menuliskannya di lembar-lembar journal kita.

  1. Premeditatio Malorum (Melatih Kemalangan)

Emosi seperti kecemasan dan ketakutan biasanya berakar pada ketidakpastian dan kurangnya dalam pengalaman, yang dimana solusinya adalah melakukan sesuatu tentang ketidaktahuan itu sendiri. Kamu bisa membuatmu terbiasa dengan skenario terburuk yang dapat terjadi atau hal-hal yang kamu takuti. Jadi walaupun dalam Stoikisme kita harus mengharapkan yang terbaik, kita juga harus bersiap kepada skenario terburuk.

Filosofi ini percaya bahwa ketika kamu sudah tahu dan merasakan akan skenario terburuk yang akan terjadi padamu, rasa kecewa dan patah hatimu tidak akan sesakit ketika kamu tidak menduganya.

  1. Latih Persepsi

Kamu harus melatih dirimu untuk memiliki persepsi yang positif. Marcus Aurelius berkata “Choose not to be harmed and you won’t feel harmed.” yang artinya kalau kamu memilih untuk tidak disakiti, kamu tidak akan tersakiti. Maksud dari perkataan ini adalah kamu dapat membuat persepsimu sebagaimana kamu mau.

Contohnya seperti ketika kamu sedang mengikuti tes masuk kuliah atau kerja, dan kamu kebetulan tertolak. Tentu beberapa orang akan merasa sedih dan merasa itulah akhir dari hidupnya. Ia marah dan menyalahkan dirinya sendiri karena ia tidak berhasil masuk ke universitas atau tempat kerja yang ia inginkan sedari dulu.

Dibandingkan untuk terus larut dalam kesedihan dan kekecewaan, kita harus melihat kepada sisi terangnya dan menjadikan hal ini sebagai peluang baru bagi kehidupan kita. Mungkin dengan adanya tolakan tersebut, dirimu bisa menjadi orang yang lebih sabar dan pengertian. Jadikanlah kemalangan tersebut menjadi motivasi untuk menjadi versi dirimu yang lebih maju. Mungkin juga, ternyata ada tempat kuliah atau kerja lebih baik yang akan menjadi takdirmu kedepannya. Who knows?

  1. Tidak Ada Yang Kekal

Kita harus mengingat bahwa semua yang kita miliki di dunia ini bersifat sementara. Barang-barang yang kita miliki, orang-orang yang kita sayangi, status, semuanya dapat hilang kapan saja.

Dalam kefanaan dunia ini, yang terpenting adalah menjadi orang baik dan melakukan hal yang benar saat ini, and yes, di saat sekarang kamu membaca artikel ini.

  1. Pandanglah dari atas

Marcus Aurelius sering berlatih latihan yang disebut sebagai “mengambil pandangan dari atas” atau “pandangan Plato.” Ini mengundang kita untuk mengambil langkah mundur dan melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih tinggi daripada kita sendiri. Hal itu akan mengingatkan betapa kecilnya kita. 

Pandangan dari atas akan mengubah penilaian kita terhadap hal-hal seperti kemewahan, kekuatan, dan kekhawatiran kita dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Memento Mori (Merenungkan Kematian)

Kalau dipikir-pikir, memikirkan kematian dapat menjadi sesuatu yang depresif kalau kita tidak tahu cara memikirkannya yang tepat.

Epictetus selalu menghimbau murid-muridnya untuk selalu mengingat kematian, karena dengan mengingatnya kita tidak akan membuang waktu dan mulai menjalankan hidup sepenuhnya. Mengingat kematian juga akan membuat kita rendah hati dan merasa semangat untuk hidup.

  1. Premeditatio Demalorum

Kita bisa membayangkan hal-hal yang bisa salah atau mungkin akan diambil dari kita. Ini dapat membantu kita mempersiapkan diri untuk kemunduran atau masalah hidup yang tak terduga.

Tidak semua rencana akan berjalan lancar seperti yang kita inginkan. Secara psikologis, kita harus mempersiapkan diri untuk hal buruk yang mungkin terjadi. Latihan ini akan membangun ketahanan dan kekuatan kita dalam menghadapi suatu masalah.

  1. Amor Fati (Mencintai takdir)

Filsuf besar Jerman Friedrich Nietzsche menggambarkan sebuah formula tentang manusia yang hebat sebagai Amor Fati atau “cinta akan takdir”. Pola pikir ini akan membuat kita dapat memanfaatkan yang terbaik dari apa pun yang terjadi. Memperlakukan setiap momen yang tidak peduli seberapa menantangnya, sebagai sesuatu yang harus dihadapi, bukan dihindari. Jadikanlah rintangan dan kesulitanmu menjadi bahan bakar untuk meraih potensi terbaikmu.

Semoga informasi ini dapat membantumu berdamai dengan diri sendiri serta mengurangi rasa sedih dan cemas yang sedang kamu hadapi. Take care and good luck!