Beberapa pekan lalu, ramai di Twitter tentang pejabat dan keluarganya yang gemar pamer kekayaan di medsos. Hal itu dibeberkan oleh akun @PartaiSocmed, di mana banyak sekali istri dan anak pejabat pemerintah memamerkan outfit atau tas mahal bermerek.
Selain unggahan keluarga pejabat di atas, kamu juga pasti pernah melihat temanmu mengunggah instastory yang (mungkin) dengan sengaja memamerkan barang-barang mahal, bukan?
Fenomena tersebut merupakan contoh dari flex culture. Flex culture awalnya disebut dengan conspicuous consumption dan pertama kali disebut dalam The Theory of the Leisure Class karangan Thorstein Veblen, seorang ilmuwan ekonomi dan sosiologi di Amerika pada tahun 1899.
Menurut Veblen, flex culture adalah aktivitas memamerkan barang-barang atau kegiatan mewah dengan tujuan mencari validasi dari orang lain.
Dengan kata lain, orang yang suka melakukan flex culture ingin menciptakan impresi pada orang lain atau sebagai bentuk kompetisi gengsi antar teman. Akibatnya, orang lain pun akan melihat betapa bahagia dan suksesnya ia.
Flex culture memang telah ada sejak zaman dahulu, bahkan sebelum kemunculan internet. Akan tetapi, seiring bertambahnya waktu, apalagi karena eksistensi media sosial yang memudahkan penyaluran informasi dan komunikasi, fenomena ini makin banyak dilakukan.
Selain itu, flex culture juga erat kaitannya dengan selebriti. Banyak selebriti, baik dalam negeri ataupun mancanegara, yang suka memamerkan dirinya menggunakan barang-barang mewah. Hal ini tentu saja akan memberikan influence ke pengikut mereka dengan menjadikan para selebriti tersebut pedoman.
Jika dikaitkan dengan teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, perbuatan memamerkan kemewahan dapat dikatakan merupakan usaha pemenuhan akan kebutuhan mendapatkan penghargaan (esteem) melalui penilaian atau validasi dari orang lain. Tak jarang, orang yang masih berada pada level piramida kebutuhan ini menutupi keadaan yang sesungguhnya karena mereka butuh pengakuan.
Lantas, apa dampak negatifnya?
Tentunya, fenomena flex culture tak lepas dari dampak negatif yang ditimbulkan. Akibat banyaknya orang yang memamerkan kemewahannya di media sosial, akhirnya masyarakat pun menilai orang lain hanya dari level kekayaannya saja.
Alhasil, banyak orang yang memaksakan diri untuk mengadopsi gaya hidup mewah meskipun ketidakmampuan finansial yang ia alami, semata-mata hanya karena ingin mendapat validasi dari orang lain.
Selain itu, mencari validasi dari orang lain terus menerus tak akan ada habisnya. Ia akan selalu merasa cemas dan mengkritisi diri sendiri ketika suatu waktu validasi tersebut tidak ia dapatkan. Hal ini pun dapat berakibat pada rusaknya self-esteem.